MEDAN – Program Studi (Prodi) Doktor Ilmu Pertanian Universitas Medan Area (UMA) melaunching jurnal internasional Jo-TEC (Journal of Tropical Estate Crops), di Kampus Program Pascasarjana UMA, Jalan Sei Serayu Medan, Jumat (13/1/2022) petang.
Launching Jo-TEC tersebut ditandai dengan diskusi panel bertajuk “Masalah dan Tantangan Pasar Kopi di Sumatera Utara”.
Tampil sebagai narasumber Ir. Soekirman, Honorary Ambassador of Organic Agriculture Asia, Dr Surip Mawardi SU, dosen Prodi Doktor Ilmu Pertanian UMA, dan Prof Dr R Hamdani Harahap, dosen FISIP Universitas Sumatera Utara (USU).
Diskusi panel dibuka secara resmi Direktur Program Pascasarjana UMA Prof Dr Ir Retna Astuti Kuswardani MS. Diskusi dipandu moderator Dr Tumpal HS Siregar.
Ketua Prodi Doktor Ilmu Pertanian UMA Prof Ir Zulkarnain Lubis MS PhD dalam sambutannya mengatakan, sebagai prodi doktor harus kental dengan ilmiah.
“Prodi Doktor Ilmu Pertanian UMA harus punya jurnal ilmiah,” kata Prof Zul yang dikenal dengan sapaan akrabnya ini.
Launching Jo-TEC yang ditandai dengan diskusi panel tentang kopi mengingat fokus prodi S3 ini adalah pertanian dan perkebunan.
Selain itu fokus prodi sejalan dengan Sumut sebagai daerah potensial perkebunan dan pernah memiliki perkebunan paling luas di Indonesia.
Dikatakan Prof Zul Launching Jo-TEC ditandai dengan diskusi panel ini mengingat lembaga akademik harus kental budaya akademik.
Disebutkannya, kopi sekarang lagi ngetren dan terkait life skill, gengsi dan tempat nongkrong.
“Jadi bukan minum kopinya saja yang terkait dengan kopi. Kini semua orang berebut dan ingin menunjukkan diri bahwa dia penikmat kopi,” kata doktor ilmu ekonomi dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini.
Kopi, lanjutnya, memiliki aspek yang sangat luas. Mulai dari aspek teknologi informasi, aspek sosial, aspek psikologi, ekonomi, bisnis dan aspek pertanian.
Selain itu, Sumut memiliki produksi kopi yang khas. Karena itu, kopi menjadi perhatian Prodi Doktor Ilmu Pertanian UMA.
“Kita sudah mengajukan proposal kerjasama penelitian tentang kopi dengan Universiti Malaysia Perlis (UniMAP),” kata Prof Zul.
Begitu banyaknya hal-hal yang perlu diungkap tentang kopi, Prof Zul menyarankan kepada mahasiswa Prodi Doktor Ilmu Pertanian UMA untuk menjadikan kopi dan segala aspeknya sebagai objek penelitian.
“Jadi bukan lagi sekadar aspek budidaya kopi, jarak tanam, pemupukan dan jenis tanah. Tapi yang diteliti harus lebih luas dari itu. Dari hulu sampai ke hilir,” harapnya.
Terkait dengan jurnal Jo-TEC yang dilaunching, Prof Zul berharap akan menjadi kebanggaan dan keunggulan, tempat berkomunikasi dan berinteraksi tentang pertanian dan perkebunan.
Dikatakannya, Jo-TEC akan jadi media untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitian mengenai tanaman perkebunan.
“Kita berharap Jo-TEC segera terindeks internasional. Syaratnya antara lain harus terbit secara reguler. Alhamdulillah untuk edisi I sudah terbit Desember lalu,” kata peraih S1 dan S2 IPB Bogor ini.
Gelombang Ketiga
Sementara itu, Antropolog Prof R Hamdani Harahap dalam paparannya mengungkapkan, kopi telah memasuki gelombang ketiga setelah melewati gelombang pertama dan kedua.
Fase gelombang pertama diberi nama first wave dimulai sekitar tahun 1800-an.
Pada masa itu, kopi diproduksi dengan harga yang masih terjangkau dan mudah untuk dikonsumsi (instan).
Di era first wave, para pelaku industri kopi mengedepankan kopi kemasan dengan tujuan mempermudah konsumen ketika disajikan. Pada era first wave peminum kopi ini dibanjiri dengan kopi kemasan.
Menurutnya setelah melewati masa first wave, saatnya era gelombang kedua mulai menjamah.
Para penikmat kopi mulai gerah dengan keberadaan kopi instan dan cita rasa yang di luar ekspektasi.
Mereka justru memiliki segudang pertanyaan atas rasa ingin tahu tentang kopi yang diminum. Mulai dari biji kopi hingga proses roasting.
Era ini ditunjukkan dengan keberadaan kedai Starbucks yang memiliki outlet pertamanya di Seattle, Washington.
“Berangkat dari sana, lalu bermunculan kedai kopi seperti Starbucks di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia,” kata Guru Besar FISIP USU ini.
Memasuki tahun 1990, kata Hamdani, kopi makin menunjukkan eksistensi dan mulai memiliki penggiat kopi yang tak sekadar menikmati kopi untuk kebutuhan kafein.
Mereka juga ingin mengetahui cerita tentang kopi itu sendiri, mulai dari fase panen, pasca-panen, hingga disajikan.
Bahkan, di era ini penikmat kopi kerap memberikan reaksi terhadap cita rasa kopi (baik atau buruk), serta penyajian kopi yang dianggap tidak benar.
Peran penting lainnya di era Third Wave ini, katanya terletak pada barista (brewer).
“Dalam hal ini, barista ditantang untuk punya pengetahuan lebih tentang kopi yang diraciknya dan mampu mengolah kopi untuk memastikan bahwa karakter asli dari kopi tersebut tercermin dalam sebuah cangkir,” ungkapnya.
Guru besar antropolog ini telah melakukan penelitian tentang kopi yang kemudian diterbitkan jadi sebuah buku “Kopi Dari Hulu ke Hilir (Kasus Pertanian Kopi di Karo dan Kedai Kopi di Medan”.
Hamdani Harahap juga mengungkap negara paling banyak mengonsumsi kopi.
Di peringkat pertama adalah Finlandia rata-rata per kapita menghabiskan 12 kg kopi per tahun. Di urutan kedua Norwegia 9,8 kg kopi per orang per tahun. Di urutan ketiga Islandia 8,9 kg kopi per orang per tahun.
“Sedangkan konsumsi kopi rata-rata per kapita orang Indonesia sangat rendah, hanya 1,13 kg per tahun,” kata Hamdani di depan peserta yang terdiri dari mahasiswa S1 – S3 dari berbagai perguruan tinggi di Medan, asosiasi penggiat dan penikmat kopi.
Sedangkan, Ir Sokirman dalam paparannya mengatakan, untuk memasarkan kopi hingga ke luar negeri bukan perkara mudah. Karena untuk mengekspor kopi misalnya ke Amerika Serikat harus dibekali sertifikat organik internasional.
Dikatakannya, sertifikat organik lokal tidak akan bisa dipakai untuk ekspor kopi.
“Perusahaan kopi harus punya sertifikat organik dari hulu ke hilir. Sedangkan mengurus sertifikat harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit,” ucap mantan Bupati Serdang Begai yang kini menjadi Honorary Ambassador of Organic Agriculture Asia.
Karenanya, Soekirman menawarkan metode K3 (Kebijakan, Kelembagaan dan Kebersamaan/Kolaborasi) dalam pemasaran kopi hingga ke luar negeri.
“Bangun kolaborasi antara pemerintah daerah, perguruan tinggi, perusahaan, koperasi, masyarakat/ LSM, dan media sosial,” katanya. (swisma)