MEDAN – Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) Tahun Anggaran 2023 mengalami defisit sebesar Rp 988 Miliar. Kondisi ini melampaui batas maksimal defisit sebagaimana yang tertuang dalam Pemenkeu No 194/PMK.07/2022.
“Berdasarkan kategori Kapasitas Fiskal Daerah, batas sangat tinggi itu sebesar 2,8 persen dari perkiraan pendapatan daerah tahun 2023. Namun yang terjadi di Pemprovsu mencapai angka 7,75 persen dari perkiraan pendapatan daerah,” ungkap Sekretaris Wilayah Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Sumut, Andi Nasution, Selasa (16/4/2024).
Kondisi ini terjadi, karena Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sumut, terkesan ‘ugal-ugalan’ terkait lahirnya APBD TA 2023, tanpa memperkirakan secara cermat besaran hitungan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Meskipun bukan penyebab utama defisit, namun LIRA memperhatikan adanya lonjakan belanja hibah hampir sebesar Rp 700 miliar dari APBD sebelumnya (APBD 2022). Tahun 2022 realisasi belanja hibah Rp 1.185 T, namun Tahun 2023 realiasinya mencapai Rp 1,8 T,” ungkapnya.
Berdasarkan pembahasan internal LIRA Sumut, ditengarai lonjakan belanja hibah ini berkaitan dengan Pemilu April 2024, karena para anggota legislatif di DPRD Sumut bakal bertarung lagi.
“Kami menengarai lonjakan ini berkaitan dengan Pokir (Pokok Pikiran) anggota DPRD Sumut yang bertarung kembali untuk memperoleh kursi legislatif. Di sinilah peran Banggar untuk menggolkannya,” ujar Andi.
Celakanya, lanjut Andi, hingga penghujung Maret 2024, sebanyak 4.098 pengguna belanja hibah belum menyampaikan laporan pertanggungjawabannya. Nilainya mencapai Rp 469 M lebih.
“Tentunya hal ini patut menjadi perhatian serius Pemprovsu, mengapa hal ini bisa terjadi, siapa sesungguhnya para penerima belanja hibah ini,” lanjutnya.
Andi Nasution mengingatkan kembali kasus hibah/bansos era kepemimpinan Gubernur Gatot Pujo Nugroho, yang menyeret banyak pihak ke dalam persoalan hukum. Segar dalam ingatan, lanjutnya, adanya penerima hibah/bansos beralamat sebuah pakter tuak.
“Jangan sampai, penerima belanja hibah tersebut merupakan lembaga fiktif. Makanya, segera mungkin menyampaikan laporan pertanggungjawaban,” ujarnya.
Mengingat kondisi APBD Sumut saat ini tidak baik baik saja, Andi Nasution, pengembalian belanja hibah yang tidak sesuai perundang-undangan merupakan langkah terbaik.
“Jangan sampai Pemprov Sumut kembali menjadi pasien Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lagi,” harapnya. (red)